Politik Etis: Strategi Kolonial yang Memicu Pergerakan Nasional

Rabu, 18 Desember 2024 12:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pertemuan Perhimpunan Indonesia, lokasi kemungkinan di Leiden, Belanda.
Iklan

Politik Etis adalah kebijakan kolonial Belanda yang awalnya bertujuan mencetak tenaga kerja murah terampil. Namun, kebijakan ini justru memicu lahirnya elit pribumi terpelajar dan menjadi katalis pergerakan nasional menuju kemerdekaan Hindia Belanda.

***

Politik Etis, yang kini dikenal luas, sering diidentikkan sebagai bentuk balas budi Belanda kepada rakyat pribumi di Hindia Belanda. Namun, kebijakan ini tidak lahir tanpa desakan kuat dari golongan liberal di Belanda.

Pada masa itu, kebijakan kolonial Belanda terhadap kaum pribumi di Hindia Belanda sangat buruk. Sistem tanam paksa dan kerja paksa yang diberlakukan seringkali menyebabkan penindasan dan penderitaan luar biasa bagi rakyat pribumi. Kondisi ini menarik kritik tajam, termasuk melalui novel Max Havelaar, yang membuka mata banyak pihak terhadap kekejaman pemerintahan kolonial. Kritik semacam ini lambat laun membuahkan hasil, mendorong munculnya gagasan untuk mengurangi penderitaan rakyat Indonesia.

Namun, di balik niat mulia itu, kebijakan Politik Etis juga membawa keuntungan terselubung bagi pemerintah Belanda. Pada awal abad ke-20, kapitalisme swasta memainkan peran besar dalam menentukan arah kebijakan kolonial. Para pengusaha Belanda melihat Indonesia sebagai pasar potensial dengan standar hidup yang perlu ditingkatkan. Untuk memenuhi kebutuhan kaum kapitalis, pemerintah Belanda meluncurkan kebijakan Politik Etis guna mendukung industri Eropa di Hindia Belanda.

Pendidikan: Strategi dan Dampaknya

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu langkah utama dalam Politik Etis adalah memberikan pendidikan kepada kaum pribumi. Tujuannya semula adalah mencetak tenaga kerja terampil dengan upah rendah, yang lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan pekerja dari Eropa atau Asia Timur. Pendidikan yang diberikan mengikuti gaya Eropa dan berfokus pada penggunaan bahasa Belanda.

Pada tahun 1900, pemerintah mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk pribumi, seperti hoofdenscholen (Sekolah Kepala) di Bandung, Magelang, dan Probolinggo, yang kemudian diubah menjadi OSVIA (Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaren) atau Sekolah Pelatihan untuk Pejabat Pribumi. Lulusan OSVIA dipersiapkan untuk menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan, dengan masa pendidikan lima tahun setelah menyelesaikan sekolah rendah Eropa.

Namun, pendidikan ini memiliki konsekuensi yang tidak diantisipasi Belanda. Munculnya golongan elit pribumi terpelajar memberikan landasan bagi lahirnya pergerakan nasional. Berbeda dari perjuangan sebelumnya yang bersifat kedaerahan, elit terpelajar ini memperjuangkan kemerdekaan secara nasional.

Pergerakan Nasional yang Terinspirasi dari Pendidikan

Golongan elit pribumi terpelajar mulai mendirikan organisasi seperti Budi Utomo pada tahun 1908. Awalnya, Budi Utomo hanya berfokus pada wilayah Jawa dan Madura, tetapi pemikirannya tentang "kemajuan bagi Hindia" yang inklusif menarik banyak pendukung dari seluruh Hindia Belanda. Meski akhirnya mengalami perpecahan, Budi Utomo menjadi pijakan awal bagi organisasi-organisasi pergerakan lainnya.

Selain itu, banyak pelajar pribumi yang dikirim ke Belanda untuk menuntut ilmu. Di sana, mereka berinteraksi dengan berbagai ideologi politik seperti liberalisme dan komunisme. Para pelajar ini kemudian membentuk Perhimpunan Indonesia (PI), yang awalnya bersifat sosial, tetapi setelah Perang Dunia I, bertransformasi menjadi organisasi politik. Melalui majalah Indonesia Merdeka, PI menyebarkan gagasan kemerdekaan ke Hindia Belanda.

Keberhasilan PI dan organisasi serupa membuat pemerintah kolonial khawatir. Mereka mulai membatasi jumlah pelajar pribumi yang dikirim ke Belanda, karena takut pendidikan tinggi ini justru akan memicu perlawanan politik.

Efek Jangka Panjang Politik Etis

Politik Etis yang awalnya dirancang untuk mendukung industri kolonial dan mencetak tenaga kerja murah, justru menjadi katalisator pergerakan nasional di Hindia Belanda. Elit pribumi terpelajar yang lahir dari kebijakan ini berhasil membangun kesadaran nasional berdasarkan rasa persamaan sebagai bangsa yang dijajah, tanpa memandang keturunan, suku, atau agama.

Dengan kebijakan ini, Belanda tidak hanya menciptakan tenaga kerja terampil, tetapi juga secara tidak langsung menanam benih-benih perjuangan yang kelak menggulingkan kekuasaan kolonial. Peran pendidikan ala Barat ini sangat penting dalam membentuk pemikiran kebangsaan dan kesadaran kolektif untuk meraih kemerdekaan.

 

Sumber:

  • Ingleson, John. (2018). Mahasiswa, Nasionalisme & Penjara: Perhimpunan Indonesia 1923-1928. Depok: Komunitas Bambu.
  • Poesponegoro, M. D. & Notosusanto, Nugroho. (2010). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda.  Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200--2008. Yogyakarta: Penerbit Serambi.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana

80 Pengikut

img-content

Strategi Pertumbuhan Konglomerat

Senin, 25 Agustus 2025 08:46 WIB
img-content

Riwayat Pinjaman Anda dalam BI Checking

Kamis, 21 Agustus 2025 22:45 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler